Rabu, 15 Februari 2012

Kisah Perjuangan Bilal bin Rabah Radhiallahu ‘anhu


Namanya adalah  bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah  yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.

Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).

Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.
Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.
Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama , terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.
Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”
Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”
Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”
Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih :
Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.
Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi.
Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muazin) dalam sejarah Islam.
Biasanya, setelah mengumandangkan azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alalfalaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.
Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam  Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.
Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”.
Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..
Sementara al- bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”
AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”
Sementara Abu  yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”
Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”
Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.
Sejak kepergian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.
Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”
Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”
Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan azan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.
Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya), “Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”
Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan azan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam..Bilal, “pengumandang seruan langit itu”, tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.
Disalin dari Biografi Ahlul Hadits, yang bersumber dari Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya
Artikel www.KisahMuslim.com


Kata Kunci Terkait: kisah sahabat bilalsejarah bilal bin rabahkisah sahabat nabi bilal bin rabbah,sejarah nabi bilal bin rabahkisah menarik bilal bin rabahbilalcerita pendek bilal bin rabahcerita perjuangan sahabatperangkisah-kisah menarik tentang bilal bin rabah

Ikrimah bin Abu Jahal Radhiallahu ‘Anhu



ikrimah bin abu jahal

Ikrimah bin  radhiallahu ‘anhu

Siapakah diantara kita yang tidak mengenal nama ini, Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam, lelaki yang dihormati kaumnya sebelum baligh? Memang benar jika kita mengatakan bahwa dia adalah junjungan  bagi kaumnya, lelaki yang terhormat, ditaati, dan mempunyai pangkat dan kekuasaan.

Akan tetapi, dia telah mengubur dirinya dalam pasir-pasir kekafiran, padahal jika dia menghendaki, dia dapat menghidupkan dirinya itu  dengan menggunakan cahaya iman. Karena itulah, ia berhak untuk mendapatkan laknat Tuhan daripada keridhaan-Nya.
Abu Jahal adalah Fir’aun umat ini. Ia hidup di Makkah sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya. Ia selalu berusaha membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia melihat sejumlah ayat (tanda kekuasaan) Allah dan sejumlah mukjizat, tetapi mata hatinya telah lebih dulu buta sebelum mata kepalanya. Karenanya,ia pun menjadi seperti setan yang sangat pembangkang.
Sering kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya merasakan gangguan dan pengingkarannya. Akan tetapi, suatu hari beliau berharap dia masuk Islam. Beliau bersabda:
Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan ‘Amr bin Hisyam atau ‘Umar bin Khattab.”
Allah mengabulkan doa Rasulullah ini, sehingga orang yang paling baik diantara kedua itu adalah ‘Umar bin Khattab yang pada akhirnya dia masuk Islam, sedangkan orang yang paling jahat diantara keduanya adalah Abu Jahal yang senantiasa memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sesungguhnya Abu Jahal adalah pengatur siasat perang Badar bagi musuh Islam. Ia berkeinginan memberikan pelajaran bagi umat Islam. Akan tetapi, ia telah tertipu setannya bahwa ia akan mengalahkan nabi dan para sahabatnya dan tiba-tiba ia mati terbunuh berlumuran darah; dan sebelum mati, ia sempat berkata: “Bagi siapakah kemenangan hari ini?” Maka dikatakan kepadanya: “Bagi Allah dan Rasul-Nya.”
Mendengar itu, Abu Jahal mencela kaum muslimin dan bertambah kafir. Hal ini membuat RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Fir’aun umat ini lebih parah daripada Fir’aun Musa.”
Memang benar, Fir’aun musa beriman saat akan meninggal dunia meskipun Allah tidak menerimanya. Adapun Fir’aun arab ini mati dalam keadaan kafir dan mencela Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam kondisi yang buruk penuh dengan kedengkian terhadap Islam dan nabi-Nya, tumbuh seorang remaja yang bernama Ikrimah. Ikrimah melihat ayahnya di Makkah tidak henti-hentinya memusuhi umat Islam, kemudian melihat kaumnya kalah dalam perang Badar. Ia kembali ke Makkah tanpa disertai ayahnya seperti ketika dia berangkat ke Badar. Ia membiarkan ayahnya tewas di tangan pasukan Islam, bahkan sampai penguburannya pun ia membiarkannya.
Adapun dalam perang Uhud kondisi sedikit berbeda. Pasukan Quraisy keluar dengan membawa pasukan kuda dan kebesarannya. Ikrimah berada dalam pasukan inti bersama Khalid bin Walid yang menjadi pemimpin pasukan sayap kanan. Bahkan Ikrimah membawa istrinya, Ummu Hakim, yang bertugas menabuh rebana bersama dengan Hindun binti ‘Utbah. Saat itu, Ummu Hakim mendendangkan syair:
Ayolah, wahai bani ‘Abdid Dar
Ayolah, para pembela kaumnya
Pukulah musuhmu dengan pedang
Para pasukan kafir ini menjadi bersemangat. Ikrimah mengendarai kudanya yang dikendalikan setan dan kedengkiannya untuk memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Tetapi, Ikrimah meletakkan di depan matanya peristiwa tewasnya sang ayah di tangan kaum muslimin pada perang Badar. Sampai akhirnya peperangan berakhir dengan kemenangan di tangan pasukan kafir. Akan tetapi, kemenangan mereka itu merupakan kemenangan  yang tidak sempurna, sebab mereka takut serangan kaum muslimin, sehingga mereka lari menuju kota Makkah.
Dalam perang Khandaq atau Al-Ahzab, Ikrimah adalah salah satu dari ribuan anggota pasukan kafir yang mengepung kota Madinah, kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-oranng Islam. Akan tetapi, mereka tercengang ketika melihat parit besar yang belum pernha mereka lihat sebelumnya. Parit ini membuat senjata-senjata di tangan mereka tidak berguna. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Pengepungan pun berlangsung lama. Ikrimah tidak sabar, maka ia keluar bersama dengan ‘Amr bin Wud untuk mengajak pasukan Islam melakukan pertandingan jawara (duel satu lawan satu) dari kedua pasukan. ‘Ali radhiyAllahu ‘anhu keluar menanggapi ajakan ini. ‘Ali melawan ‘Amr bin Wud dan memperoleh kemenangan karena berhasil memenggal kepala ‘Amr bin Wud dan melemparkannya pada pasukan musyrik.
Melihat kejadian ini, Ikrimah takut sehingga ia lari seperti tikus yang ketakutan. Ikrimah meninggalkan peralatan perang dan barang-barang lainnya. Oleh karena itu, ‘Ali radhiyAllahu ‘anhu mengambilnya dan memberikannya sebagai hadiah untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah memenangkan Islam dan kaum muslimin. Mereka berhasil menaklukkan kota Makkah. Akan tetapi, kemenangan ini tidak terlepas dari perlawanann  kecil. Ikrimah bersama dengan Shafwan bin Umayyah, Suhail bin ‘Amr, dan seorang lelaki dari bani Bakar (namanya Hammas bin Qais) melakukan perlawanan terhadap kaum muslimin.
Ketika melihat apa yang dilakukan Qais, istrinya berkata: “Wahai Hammas, apa yang kamu persiapkan?”
“Aku mempersiapkannya untuk Muhammad,” ujar Hammas.
Demi Allah, kamu tidak akan mampu melawan Muhammad dan para sahabatnya,” tukas istrinya.
Dengan sombong Hammas berkata: “Kami akan membunuh mereka dan kamu akan mempunyai pembantu dari mereka.”
Sementara itu Ikrimah bersama teman-temannya berkumpul di tempat yang dinamakan Al-Khandamah mereka ingin melakukan permusuhan dan perlawanan terhadap kaum muslimin. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meladeni mereka dengan mengajukan pedanngnya yang terhunus, yaitu Khalid bin walid (yang mempunyai julukan Saifullah wa Rasulihi Al-Maslul yang berarti pedang Allah dan Rasul-Nya yang terhunus). Maka mereka kalah dan lari tunggang langgang, termasuk juga Hammas. Oleh karena itu, Hammas masuk ke rumahnya dan menutup pintunya, kemudian dia mengucapkan syair:
Sungguh andai kamu menyaksikan hari Al-Khandamah
Saat Shafwan dan Ikrimah lari kalah
Kami disambut pedang-pedang muslim
Yang memotong-motong setiap tengkorak kepala dan tangan

Pelarian Ikrimah bin Abu Jahal

Ikrimah lari, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkan untuk membunuhnya bersama sembilan orang lainnya. Melihat ancaman mati dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, Ikrimah melarikan diri ke Yaman. Pada saat itu istrinya yang bernama Ummu Hakim masuk Islam dan meminta perlindungan dan keamanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Ikrimah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Dia aman”
Ummu Hakim melakukan perjalanan untuk mengembalikan suaminya ke Makkah. Dalam perjalanannya ini, ia ditemani seorang lelaki Romawi. Lelaki ini melihat adanya kesempatan untuk berbuat mesum karena mereka hanya berdua saja, sementara jarak perjalanan sangat jauh. Akan tetapi, Ummu Hakim menolaknya hingga akhirnya mereka berdua sampai di suatu pantai. Disinilah takdir menundukkan Ikrimah.
Ikrimah berkata kepada salah satu seorang nahkoda kapal: “Bawalah aku sampai ke Yaman dan aku akan memberikan apa yang kamu inginkan.”
Nahkoda kapal berkata, “Tidak, kecuali kamu ikhlas.”
“Bagaimana cara berikhas?” Tanya Ikrimah.
Kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad utusan Allah.” Jawab nahkoda kapal.
Dengan kesal Ikrimah berrkata: “Ini adalah Tuhan Muhammad yang kami diajak kepada-Nya.”  Ikrimah mengetahui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Ia berputar. Ia kaget, karena di depannya terdapat istrinya. Istrinya berkata: “Aku datang kepadamu dari manusia yang paling baik, mannusia yang paling penyayang, manusia yang paling santun, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku telah meminta perlindungan dan keamanan untukmu darinya. Beliau telah menjamin keamananmu, maka janganlah kamu binasakan dirimu sendiri! Kembalilah, karena sesungguhnya kamu akan aman.”
Ummu Hakim menceritakan hal ihwal pemuda Romawi yang bersamanya. Ia telah meminta bantuan kepada sebagian orang-orang pedalaman dan mereka mau memberikan bantuan. Ia masih tetap bersama dengan pemuda ini, sehingga nafsu pemuda ini tertuju kepadanya. Maka dalam perjalanan menuju Makkah, Ikrimah pun membunuh pemuda tersebut.
Saat diajak berduaan oleh Ikrimah, Ummu Hakim berkata: “Wahai Ikrimah, sesungguhnya kamu musyrik, sedang aku muslimah. Allah telah mengharamkan diriku atasmu.” Kata-kata yang seperti panah ini telah menancap di hati Ikrimah, sehingga hati Ikrimah pun terluka dan pikirannya menjadi kacau balau.
Sementara di Makkah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri diantara para sahabatnya sambil bersabda: “Sesungguhnya Ikrimah bin Abi Jahal akan datang kepadamu dalam keadaan beriman dan berhijrah, maka janganlah kamu mencela ayahnya, karena mencela orang yang sudah mati dapat menyakitkan orang yang masih hidup, walaupun celaan itu tidak sampai kepada orang yang sudah mati.”

Masuk islamnya Ikrimah bin Abu Jahal

Ikrimah pun datang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Selamat datang, pengendara yang berhijrah.”Beliau berdiri kepadanya, meluaskan kain untuknya, dan menyambutnya dengan sebaik-baik sambutan.
Ikrimah berkata: “Aku mendengar bahwa engkau telah menjamin keamananku, wahai Muhammad ?”
“Ya sungguh kamu aman,” jawab Rasul
“Untuk apa kamu menngajakku ?” tanya Ikrimah.
“Untuk menyembah Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu  bagi-Nya, melaksanakan shalat, membayar zakat, menunaikan puasa, dan berhaji di Baitullah,” kata Rasul.
Ikrimah berkata: “Demi Allah, engkau tidak mengajakku, kecuali kepada kebenaran; dan engkau tidak memerintahku, kecuali kepada kebaikan.” Ikrimah mengulur tangannya dan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Ikrimah berkata: “Wahai Rasulullah, aku memohon kepadamu untuk mengampuniku atas setiap permusuhanku terhadapmu, setiap jejak langkahku, setiap kesempatan aku bertemu denganmu, dan setiap perktaan yang aku ucapkan dihadapanmu atau tidak dihadapanmu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuk Ikrimah:
 Ya Allah ampunilah setiap permusuhan yang dilakukannya terhadapku, setiap jejak langkahnya yang ia inginkan untuk memadamkan cahaya-Mu. Ampunilah perkataan yang diucapkan guna merendahkan martabatku, baik ketika dia berada di hadapanku maupun tidak dihadapanku.”
Ikrimah berkata: “Wahai Rasulullah, tidaklah aku mengeiuarkan satu hartapun yang telah aku gunakan untuk memusuimu, kecuali aku juga akan menginfakkan harta yang sama di jalan Allah.”
Setelah masuk Islam, Ikrimah bersumpah: “Demi Dzat yang telah menyelamatkanku saat perangBadar.” Ia bersyukur kepada Tuhannya karena ia tidak mati terbunuh dalam perang Badar (karena pada waktu itu Ikrimah masih dalam keadaan kafir, red). Ia masih tetap hidup sampai akhirnya Allah pun memuliakannya dengan Islam. Ia selalu membawa mushaf sambil menangis: “Kitab Tuhanku ! Kitab Tuhanku !“

Syahidnya Ikrimah bin Abu Jahal

Pada saat perang Yarmuk meletus dengan hebatnya dan pasukan Romawi hampir mengalahkan pasukan Islam, maka singa buas Ikrimah pun bangkit dan berkata: “Minggirlah, wahai Khalid bin Walid, biarkan aku menebus apa yang telah aku dan ayahku lakukan. Dulu aku memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah sekarang aku akan lari dari pasukan Romawi ? Demi Allah tidak, selamanya tidak akan terjadi !”
Ikrimah berteriak: “Siapa yang akan membaiatku untuk mati ? “
Pamannya Harits bin Hisyam, dan juga Dhirar bin Al-Azwar berdiri untuk membaiatnya. Ikut bersama mereka 400 pasukan muslim. Mereka memasuki arena peperangan hingga mereka dapat mengalahkan pasukan Romawi, dan Allah pun memberikan kemenangan dan kemuliaan bagi pasukan-Nya.
Perang pun selesai. Ikrimah tergeletak terkena 70 tikaman di dadanya, sedang disampingnya adalah Al-Harits bin Hisyam dan Ayyasy bin Abi Rabi’ah. Al-Harits memanggil-manggil meminta air namun ia melihat Ikrimah sangat kehausan maka ia berkata: “Berikanlah air kepada Ikrimah.” Ikrimah melihat Ayyasy bin Abi Rabi’ah juga sangat kehausan, lalu ia berkata: “Berikanlah air kepada Ayyasy.” Ketika air hampir diberikan, Ayyasy sudah tidak bernyawa. Para pemberi air dengan cepat menuju Ikrimah dan Al-Harits, namun keduanya pun sudah tiada untuk meminum air surga dan sungai-sungainya.
Sumber: Kisah Teladan 20  Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Anak, Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Irsyad Baitus Salam, 2006 (Dipublikasikan ulang oleh KisahMuslim.com)


Kata Kunci Terkait: sahabat nabihamzahzaidabu jahalpeperangan nabikisah sahabatabu dzar,ali bin abi thalibikrimah bin abu jagal